Kado Cinta Dalam Doa


Pilar-pilar fajar bertebaran dan memasang bendera kemenangannya setelah malam lelah berjaga dalam rengkuhan bulan dan bintang-bintang,
ting…ting…ting…ting… 
jam ummu kalsum telah berdetak 4 kali seiring dengan sahutan para ayam jantan. 

Aku selesaikan dzikirku dan terus bertafakkur lalu lanjut untuk muroja’ah hafalanku. Kali ini aku harus bisa meroja’ah 6 lembar sekaligus biar bisa menyelesaikan satu juz. Sebagai pemula kata abi aku cukup cepat dalam menghafal tapi aslinya aku sendiri kewalahan selain karena Al-qur’an itu asing bagiku, jadwal tuk menghafal segenap mata pelajaran juga membutuhkan waktu yang cukup. Apa lagi tuk tahun terakhir ini dimana aku harus menbagi waktu tuk menghafal Al-qur’an sesuai kewajiban setiap santri, menghafal beberapa paket untuk persiapan MFQ tingkat provinsi dan beberapa referensi sains untuk olimpiade mipa tingkat provinsi nanti. Maha suci Allah yang menciptakan otak manusia dengan begitu sempurna sehingga bisa menyaingi bahkan melebihi kemampuan memory card atau soft ware sejenis yang menyimpan berbagai data layaknya computer atau playsdisk. Kumohon terimalah syukurku yaa Robb…

Sebelum berdiri aku berdoa agar keluargaku mendapat hidayahNya dan bisa bersatu seperti dulu lagi. Tidak akan ada yang menyangka bahwa aku berasal dari keluarga yang berantakan, ayahku seorang pengusaha sukses yang kini sedang tergila-gila pada pekerjaannya sehingga mengabaikan keluarga, namun beruntung ia tidak kehilangan sifat bijaknya dengan memilih pesantren sebagai pendidikan terbaik untukku dan adik-adikku, sayang kakakku harus menjadi korban broken home ibuku yang selalu merasa kesepian karena ulah ayah hingga iapun menjadi mahasiswa yang selalu andil dalam tawuran dan beberapa kekacauan lainnya. Aku berharap bisa menyadarkan orang tuaku dan menyatukan keluargaku lagi. aamiin.

Dua hari lagi kelas akan mengadakan semester genap kenaikan kelas  tahun 2012, ini seperti semester-semester biasanya teman-teman seangkatan ataupun adik kelasku pasti akan berkunjung ke asramaku diluar jam sekolah dan pondok untuk menanyakan beberapa pelajaran yang menurut mereka terlampau rumit dan sulit dimengerti, akupun dengan semangat menjelaskan dan membantu mereka untuk memahami serta mengerjakan soal karena menurutku itu sangat membantu menganalis sejauh mana pemahamanku terhadap materi dan kemampuanku dalam menghadapi ujian nanti. Alhamdulillah kata mereka penjelasanku lebiih mudah dimengerti dari pada guru-guru disekolah. Aku tersenyum mendengarnya dalam hati aku bersyukur dan sulit mengatasi rasa riya yang sering kali bermunculan disaat yang sama, astagfirullah.

“Ukhty…ukhty….” Kak rahim, seniorku seketika berlari sambil memanggilku yang sedang menjelaskan beberapa materi bahasa inggris kelas X.
“ukhty, segera ke poskestren. Zaid ponakan Kiyai Ahmad kecelakaan. Kakinya cedera cukup parah, kami tidak mampu mengatasinya” jelasnya terengah-engah.

“Innalillah… Mida, saya minta tolong bubarkan anak-anak, rumahku di kunci lalu nyusul kesana segera yaa” jelasku sambil melangkah keluar dan pamit kepada teman-teman.
Di pintu masuk ada banyak ikhwan yang berkumpul jadi aku berhenti 10 M dari mereka, setelah semua lenyap baru aku masuk dan memeriksa keadaan pasien.

”Dokter Namira udah ditelfon?”

“udah, ukh…tapi antikan tau jarak dari kota kesini sangat jauh, kami takut lukanya akan infeksi jadi kami memanggil ukhty, biar ukhty bisa ngasi pertolongan pertama”

Aku tersernyum mendengar penjelasannya. ”iya saya faham”, kataku sambil menyiapkan beberapa peralatan untuk membersihkan lukanya yang sangat parah.
“Afwan ini akan terasa sakit, karena saya harus menyikat dagingnya yang robek dan membersihkan lubangnya, jika kamu kuat saya hanya akan mengikat kedua ujung kaki kamu tapi jika tidak maka akan saya bius, jangan khawatir saya bisa menggunakan bius secara alami” jelasku dengan cepat, tapi keliatannya pasienku begitu kepayahan menahan sakit, tanpa izin aku memberinya ganja kering untuk dihisap agar dia bisa lebih tenang dan rilex.
Kurang lebih 45 menit kami menunggu datangnya dokter Mira untuk kemudian beliau jahit dan memberikan obat yang pantas untuk si pasien tadi.

“Pertolongan pertamanya sangat baik na, jika lukanya tidak segera dibersihkan mungkin kakinya harus diamputasi” kata dokter Mira sambil tersenyum padaku.

“yaa… Alhamdulillah dok, saya hanya menjalankan apa yang harus dilakukan dan mengingat-ingat apa yang dokter ajarkan”

“hhee… kau terlalu rendah hati” sambil menyapu pundakku, ”jika punya waktu luang, jalan-jalanlah kerumah sakit aku akan mengajarimu menjahit dan memberikan beberapa alat yang dibutuhkan, karena kau harus mempelajarinya jika suatu saat nanti aku tidak bisa langsung datang”.

Diajarkan menjahit katanyaa…masyAllah betapa senang hatiku.
”Baik dokter, segera setelah semerter akhir usai saya segera kesana”, ucapku penuh semangat dan senyum yang merekah begitu bahagia.

Setelah memberi obat dan menasehati pasien untuk bisa tidaknya makan dan melakukan sesuatu dokter segera pamit dan akupun ikut keluar.

“tuu..tungggu… ukhty”

“yaa…? Apa ada sesuatu yang dibutuhkan?” Tanyaku spontan layaknya seorang perawat.
“Alhamdulillah tidak. Mm… ukhty syukron katsiran untuk bantuannya tadi” ucapnya sambil menunduk.

“hhee… itu merupakan kewajibanku jadi tidak perlu berterima kasih, saya akan panggil kak Rahim untuk menemani disini, jadi istirahatlah” jelasku, kali ini dia memandangku cukup lama lalu tersenyum dan kembali mengucap terima kasih.
***
Sesuai janjiku setelah semester usai dengan semangat 45 aku menuju rumah sakit dan belajar darinya, tapi aku baru benar-benar belajar setelah kurang lebih 3 minggu menunggu karena jadwal operasi sang dokter yang memang begitu padat. Selama hampir sebulan aku bolak balik pondok dan rumah sakit untuk memperhatikan proses operasi dan belajar beberapa jenis penyakit serta  penanganannya hingga dokter Mira benar-benar bisa mengajariku menjahit (bedah) sendiri. Dan selama itu pula aku selalu mengorbankan jadwal belajar dan diskusi bahasa arab dipondok, jadi sangat wajar jika aku tertinggal jauh oleh santri yang lain dalam pelajaran bahasa arab karena selaian aku tidak benar-benar menyukainya, ketika ada latihan atau pelajaran tambahan diluarpun aku selalu mengorbankan jadwal bahasa arabku.

Usai solat ashar aku pamit pulang dengan membawa sejumlah peralatan bedah darurat yang dihadiahkan dokter Mira kepadaku sebagai murid terbaik. Tadinya ia ingin mengantarku kepondok namun kutolak karena sudah tak enak, selain sudah sangat mengganggunya selama sebulan terakhir ini aku juga membuatnya tak bisa istirahat karena selalu bertanya, yaa… meskipun sedikit sungkan tapi aku harus membuang perasaan itu dan menggali ilmu sedalam-dalamnya mumpung gratis. Hehee

Sampai dihalte, hujan turun seakan mengguncang bumi. Aku harus menunggu lama untuk pulang dengan bus tapi mungkin juga tak akan pulang jika harus menunggu melihat hujannya yang begitu deras. Tiba-tiba HP-ku berdering, ternyata abi, ustadz Ma’zum yang mengangkatku sebagai anak angkatnya menelfon.

“Assalamu’alaikum, Anna di mana nak?”

“Wa’alaikumsalam warahmatullah… ini masih dihalte pertama bi, nunggu bus”

“masyAllah, ini sudah jam berapa nak, tunggu saja disitu abi akan suru anak-anak untuk jemput”

“tapi disini hujan biii…” jelasku sedikit teriak karena hujan yang terlalu deras

“iya, karena itu abi nyuruh anak-anak karena abi tidak bisa menyetir. Jadi tunggu disitu ya nak”

“oke bi…”

Diujung halte terlihat dua orang muda mudi yang sedang berlindung, mereka begitu dekat dan saling berpelukan, sepertinya deru hujan yang jatuh terdengar bagai melodi merdu dari tuts piano sang maestro bagi mereka. Aku tak ingin berprasangka buruk karena mungkin mereka sepasang suami istri tapi menurutku tidak wajar jika pamer kemesraan didepan umum, ini bukan karena iri ya. Aku hanya merasa itu tidak etis. Disampingku ada seorang nenek dan dua cucunya, sedangkan diujung sebelah kanan beberapa pemuda dengan pakaian dinas berdiri berjejer-jejer. Huufftt… ini sangat dingin, kukepalkan kedua tanganku lalu kutiup berulang-ulang hinggah seorang santri dengan sebuah mobil avanza silver datang menyapa.
Ternyata abi menyuruh Zaid keponakan ustadz Ahmad dari Ponpes Hidayatullah Kalimantan Selatan, seorang penghafal 21 jus diusianya yang kini memasuki 17 tahun, ahli bahasa arab dan tafsir juga mampu membaca kitab kuning, sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang santri yang sekolah diluar pondok.

“Sudah berapa jam menunggu?” tanyanya setelah masuk mobil.
“5 menit lagi baru genap sejam” kataku singkat setelah melirik arlojiku yang sepertinya masuk air.

Sejurus kemudian kami terdiam dan terus memandangi jalan-jalan yang disapu hujan dan sedikit banjir, untuk menghilangkan kekikukan aku menbuka tasku dan membaca buku yang membahas tentang astronom.
MENGAPA PARA ASTRONOM MASUK ISLAM, pengarangnya siapa, aku sudah lupa karena aku paling payah dalam menghafal nama.

“MasyaAllah ternyata bener apa kata para santri, kamu ini santri serba bisa, multitalenta” katanya sambil tersenyum

“Ngg???” aku hanya memandangnya penuh tanya dengan nada heran, dalam hati aku bertanya apa yang dia maksud. Pertanyaan bodoh.

Menyadari aku sepenuhnya tidak mengerti, dia mulai menjelaskan dengan lebih rinci, “Kamu yang mengobati ketika aku terluka kaan? kata mereka, dipondok tidak ada yang bisa memberikan pertolongan pertama selain kamu, aku juga dengar kamu seorang pendakwah, juara dikelas, dan punya prestasi yang baik disetiap olimpiade sains, kamu juga bisa memainkan beberapa alat musik klasik dan modern, selain itu kamupun hafizah dan qori yang baik, baru-baru ini aku liat kamu baca buku astronom dan dirumah kamu punya banyak kamus bahasa asing, aku jadi bingung apa ada pelajaran yang kamu tidak sukai, karena semua terlihat menarik bagimu dan semua sangat mudah untuk kamu pelajari, Allahu akbar”

Sebenarnya aku ingin tertawa mendengarnya berkata begitu tapi kutahan dengan sekuat tenaga demi tatakrama, ”afwan kalau kamu bilang saya hafizah dan qori yang baik, saya pikir itu kesalah pahaman, hhee… saya manghafal karena itu kewajiban sebagai seorang santri dipondok, menurutku seseorang yang bertindak karena sebuah kewajiban bukanlah pemain sejati karena kemanpuannya kelak akan hilang bersama bebasnya dari kewajiban tersebut. Sedangkan qori, suaraku fals, hehee... jelasku santai,
“daann saya gak bisa bahasa Arab. Jadi jangan dengar omongan para santri, mereka berlebihan tanpa tau yang sebenarnya”.

Dia hanya mengangguk sambil tersenyum melihatku, entah dia mengerti atau tidak kuanggap dia telah mengerti. Memasuki pedesaan dia mulai bertanya tentang hal-hal yang paling kusukai. Ia terlihat cuek tapi nampak jelas begitu penasaran. Ku jelaskan bahwa aku tidak pernah menyukai satu jenis dari setiap pilihan. Jika itu adalah warna maka aku akan sangat menyukai biru, ungu, putih, coklat dan hijau. Seperti halnya pelajaran aku tidak pernah berkata aku hanya menyukai matematika, karena fisika, biologi, kimia, bahasa Inggris dan sejumlah pelajaran agama juga menarik. Aku menyukai beberapa hal yang bersifat baru dan modern tapi aku juga sangat tertarik dengan beberapa peninggalan lama yang mengungkap sejarah, bukankah semua itu adalah anugerah beragam perbedaan dari Yang  Maha Kuasa? selama kita di anugerahi nikmat untuk menikmati kenapa mesti memilih satu? aku menyukai hampir semua hal.

“Ternyata kamu memiliki karakter yang unik, aku bahkan tidak bisa menebak kamu tipe orang seperti apa”

“hee…semua orang berkata seperti itu” sambungku.

“Oh, hhe, tapi bukankah sebagai seorang muslim kita harus tegas pada suatu pilihan dan teguh pada pendirian? Jika menyukai beberapa bahkan hampir semua hal bagaimana bisa ia disebut seseorang yang dapat istiqomah dalam satu hal atau setia pada pasanganya kelak?” sambungnya lagi.

“hehee…pertanyaan yang lucu, menurutku pilihan dan naungan berdiri pada garis yang berbeda seperti halnya keyakinan dan cara menjalankannya, kita hanya yakin Allah tuhan yang Esa namun menbuktikan keyakinan itu dengan beragam hal seperti solat, puasa, zakat dll. Ini sama halnya dengan yang kamu tanyakan tadi, kesukaan terhadap berbagai macam hal secara bersamaan dalam hal yang sama berbeda dengan kesetiaan dan sikap istiqomah. Ketika kita telah menyatakan bahwa kita menyukai beragam hal sejak kita kecil hinggah dewasa bahkan meninggal kelak, itu telah masuk sikap istiqomah. dan jika sejak dulu kita menyukai warna biru bahkan ketika kita memilih warna ungu disuatu saat tapi birupun tak bisa lepas itupun masuk sifat setia. Namun berbeda dengan kesetiaan terhadap pasangan kelak dan keistiqomahan terhadap keyakinan, karena ini masalah hati dan pilihan untuk mencintai. Pada dasarnya hati seseorang layaknya sebuah kerang yang hanya akan terisi oleh satu mutiara dan tidak lebih, karena tidak ada tempat lagi untuk yang lain setelah cahayanya memancar dan menerangi setiap sudut kerang tadi. jadi ini masalah pemahaman dan pendalaman makna antara suka dan cinta yang menurutku jelas beda, suka bersifat umum dan universal sedangkan cinta lebih bersifat khusus, mengapa Allah menyuruh kita mencintainya bukan menyukainya? karena rasa suka untuk berbagai hal sekaligus sedangkan cinta untuk sesuatu yang lebih spesial.”

Mobil terus melaju hinggah memasuki kawasan pondok, tak ada lagi pernyataan atau petanyaan yang terdengar selain anggukannya dan senyumnya yang terus tersungging indah, ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya, ternyata orang yang bernama zaid itu cukup tampan. Tubuhnya tinggi, putih dan wajahnya bersih, perawakan arab, nampak jelas dari garis-garis wajahnya persis seperti pamannya, segera kupalingkan pandanganku dan keluar mobil menuju rumah abi yang sejak tadi menungguku dengan kecemasan seorang ayah… ah… andai saja ayahku seperti dia…
***
Hari berganti menuju minggu, minggupun beralih menjadi bulan begitu seterusnya hingga perjalanan waktu mengantarku menuju umur 18 tahun dimana aku telah duduk di kelas XII. Aku memandangi kamus kecil, kumpulan kosakata bahasa arab berwarna biru muda yang kini berada ditanganku. Teringat ketika Zaid berkunjung kesini dan menghadiahkan kamus ini sebagai kenang-kenangan untukku.
“Kamu sangat cerdas, belajarlah bahasa arab dengan giat, aku yakin kamu pasti bisa. Karena bahasa arab tidak lebih sulit daripada bahasa korea ataupun jerman” ucapnya ketika memberiku sebelum ia pulang dan kembali ke Kalimantan.
Sejenis perasaan aneh merayap disudut hatiku, namun segera kutepis dengan istigfar dan muroja’ah hafalanku, nanti sore ayah akan datang menjemputku dan mengajakku jalan-jalan jadi segera ku rapikan meja belajarku dan bersiap-siap untuk pergi bersama ayahku yang sangat menyayangiku, aku pun menyayanginya dan akan lebih jika ia ingin mengubah cara hidupnya.

Ba’da dzuhur ayah datang dengan mobil barunya, sebuah Xenia keluaran baru berwarna putih, ia membawakanku jilbab besar barwarna ungu, sangat cantik dan manis, aku segera memeluknya dan mencium kedua pipinya yang bersih sambil mengucap terima kasih. Kami berjalan-jalan menelusuri pantai dan menikmati jagung bakar pedas manis, aku mulai bercerita tentang kehidupanku dipondok, pelajaran yang kudapatkan dan tentang surga dan neraka sebanyak yang aku tau.
Seperti biasa ayah akan mendengarkanku dengan semangat ingin tau, sesekali ia bertanya dan kujawab sebanyak yang aku bisa.

“wah…waahh… sekarang anak ayah uda jadi ustazah yang hebat yaa… Ma'zum bener-bener uda ngajarin anna-ku dengan baik” kata ayah sambil tertawa.

“iya… bukankah ayah memasukkan anna ke Pesantren karena berharap anna bisa seperti ini, ya kaan?”

ayah mengangguk tanda setuju.

“Yah… anna pengen ayah belajar agama juga, meskipun ayah sholat tapi anna pengen ayah seperti muslim pada umumnya yang tidak meninggalkan solat berjamaah di Masjid, anna ingin ayah bisa mengajari ibu dan mendidik kakak dengan ilmu agama yang baik, anna ingin ayah menjadi seorang suami dan ayah yang digambarkan dalam Al-qur’an, anna ingin kita semua bisa bersama dan berkumpul di Surga kelak” jelasku hampir menangis.

“ayah, dunia hanya sementara kelak harta dan popularitas akan kita tinggalkan dan yang tersisa hanya amal sebagai bekal kita…ayah bisa tetap bekerja tapi ayah juga harus bisa membagi waktu untuk berkumpul dirumah dan beribadah sebagai seorang muslim…yaah?”

Ayah hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti, samar-samar kulihat setetes air disudut matanya. Apakah ayah tersentuh? dan Alhamdulillah ini menjadi awal datangnya cahaya hidayah itu ketengah keluarga kami, berikutnya kakakkupun menjadi lebih baik.
***
Tak terasa tiga bulan lagi aku akan menghadapi ujian nasional, selama itu aku terus belajar dan latihan mengerjakan beberapa soal. Disamping itu akupun bertambah sibuk memberikan les kepada teman-teman sekelasku, selesai pelajaran pondok,  kami keluar dari Mushollah.
Baru saja aku hendak berdiri tiba-tiba dadaku terasa begitu sakit, Allahu akbar, itu yang terus kuucapkan dalam hati, entah apa itu, yang kutau aku tidaklah terserang mag, ginjal atau jantung?
Dadaku tak pernah sesak ketika terlentang sekalipun nafasku selalu sesak ketika mendaki. Lalu apa ini…kenapa begitu sakit, aku mencoba untuk menegak tapi sulit, hingga beberapa saat kemudian sakit itu menghilang tanpa jejak.
Selesai ujian rasa sakit yang menyerang, semakin terasa jelas dan menjadi-jadi, maka kuputuskan untuk memeriksa sendiri, aku menduga aku mengalami gagal jantung dan untuk memastikannya selepas UAS diam-diam aku berangkat kerumah sakit, ternyata aku benar namun ini bisa diatasi dengan olahraga secara teratur dan mengatur pola makan dengan baik, karena yang kualami merupakan gejala awalnya.

Beberapa hari yang lalu aku menerima email dari nama yang tak asing zaid eL-bantanie, judulnya KU TUNGGU KAU DI TAMAN SURGA

Assalamu’alaikum.wr.wb… Anna? Apa kabar? kuharap saat ini kamu berada dalam kebaikan. tanpa terasa waktu terus mengalir dengan membawa serpihan kehidupan kita sebagai kenangan, meski begitu, aku ingin menahan setiap waktu yang kita lewati bersama tapi alam tidak pernah mengizinkannya, sehingga semua garis yang kamu torehkan menjadi kenangan terindah yang bisa ku ingat. afwan.

malam ini aku memandang kelangit yang menyikap tabir indah sang bulan dan bintang yang sedang bercengkrama, tahukah anna, setiap kelip dari bintang-bingtang yang anna kagumi mengucap puji dan dzikir cinta pada Robb semesta alam, aku berharap anna tak pernah kalah dari mereka dalam mengingat Robbinya, dan aku yakin memang seperti itu. Aku selalu dengar dari abahku bahwa godaan terbesar bagi seorang muslim adalah wanita sehingga aku selalu menjaga pandanganku agar tidak mengotori hati dan memberikan peluang untuk dapat merasakan betapa beratnya ujian yang harus diderita sang hati ketika ia terserang virus merah jambu di waktu yang belum tepat, aku selalu berdoa agar terhindar dari cinta yang datang diluar pernikahan.

Hingga suatu saat aku mendengar kisah seorang muslimah yang taat dan cerdas, aku seakan tersihir untuk bisa melihat bagaimana sosok yang dipuja dan dipuji para santri itu, dan sekali lagi aku merasakan sihir yang sama ketika untuk pertama kalinya melihat seorang malaikat berkerudung putih sedang membersihkan lukaku setelah membiusku dengan ganja kering, kupikir akupun telah terbius oleh wajahnya yang indah dan penuh kharisma. Kini aku selalu mengharapkan ampunan dariNYA yang maha pengasih, atas rasa yang terus bersemi dan pandangan yang tak mampu ku palingkan dihari itu. Aku pun senantiasa berdoa dalam sujud dan hajatku agar kelak Allah yang maha kuasa sudi menjodohkan ia denganku yang lemah ini, menjadikannya halal untukku sebagai hadiah terindah setelah khatamnya hafalanku.

Kadang aku bertanya pada bintang-bintang yang tersenyum atau ilalang yang bersujud akankah ia disana merasakan betapa hebatnya siksaan hati yang dilanda rindu?
Mungkinkah ia memanjatkan doa dan harapan hanya untukku seperti halnya yang selalu ku lakukan?
Apakah ia terus memikirkanku meskipun dalam diam?
Namun pertanyaan-pertanyaan itu seakan makin membuatku tersiksa hinggah kuputuskan untuk berserah diri pada takdir dan kehendakNya

Tiap saat doa ku panjatkan, tiap waktu dzikir ku dendangkan dan berharap cintaku padaNya dapat mendinginkan musim semi yang tak dapat kutolak namun semua hanya manambah mekarnya mawar yang ingin kupatahkan dan beban rindu yang bertambah berat ditiap harinya.

Kini aku berharap Allah menjadikannya obat hatiku, penawar atas segala kegundahanku dan penyejuk mataku, bukan didunia tapi di Taman Surga Firdaus sebelah timur, dimana Rasulullah menjadi walinya dan Malaikat sebagai saksinya.

Sebagai mana Allah telah menjadikan Fatimah Az-zahra hanya untuk Ali bin abi tholib seorang,
Aku pun memohon pengobat lukaku dulu hanya menjadi milikku seorang.

---

Tiba-tiba Jantungku berdegup kencang, entah apa yang kurasakan; takut, senang, sedih, semua bercampur menjadi satu. Haruskah aku meng-amiinkannya?. 

Beberapa menit kemudian seorang akhwat mengetuk pintu rumahku ia memberikan beberapa tafsir untuk diajarkan pada santri-santri junior.

“Ini titipan dari ustadz Ahmad, beliau meminta tolong agar ukhty yang mengisi pelajarannya selama ia di Kalimantan”

“Oh, iyaa… tapi sedang apa ustadz ke Kalimantan?” tanyaku penasaran, karena tidak biasanya ustadz Ahmad keluar diluar waktu libur.

“Anty belum dengar yaa??? Keponakannya yang tahun kemarin datang berkunjung kesini meninggal dunia”.

Seketika jantungku berdegup kencang, entah apa yang kurasakan namun sepertinya langit hampir runtuh.
“me..meninggg…ggal? Si…siapa?”

“anty kenapa kok pucat? Mungkin anty kenal karena kata anak-anak anty yang mengobati dia ketika kecelakaan kemaren”, jelasnya sedikit heran melihat ekspresiku, “Zaid… ingat gak ukhty? Dia meninggal tadi subuh katanya karena gagal jantung” sambungnya.

Seluruh tulangku rasanya melebur bersama keringat dingin yang sejak tadi mengucur dari kepalaku, baru saja aku membaca emailnya yang mampu membuatku melayang kini aku mendengar kabar yang seketika membuatku jatuh dan merasa sakit teramat dalam.
“innalillahi wainnailaihi rojiun” bisikku.

Kemudian ia pamit.
Akupun masuk kerumah dan kembali memandangi email yang menbuatku merasakan sejuta rasa berbeda secara bersamaan. Kemarin malam ia mengirimnya, apa ini alasannya mengapa ia memilih untuk bersama denganku di surga bukan di dunia?
Kugenggam kamus kecil hadiah darinya, dan kucoba mengingat kembali pertemuan kami yang pertama, juga percakapan kami yang sangat singkat. Sesaat kemudian aku merasa begitu sesak. Kubiarkan memoriku berputar dan mengenang seseorang yang membuatku merasakan musim terindah setelah mendengar nama atau melihat pemberiannya. Tanpa bisa kutahan lagi air mataku terus mengalir bersama dengan menguatnya rasa yang makin merekah di musim semi setelah musim dingin, seketika enyah dibalut doa dan kado cinta darinya.
Haruskah aku meng-aminkan doanya?
Hanya deru angin yang terdengar dan berbisik lembut pada rumput dan dinding yang bertafakkur.

Deviantart.com

.
.
PS: Cerpen ini saya buat waktu kelas 3 SMA, tahun 2013. Waktu itu lagi suka-sukanya baca novelnya kang Abik, jadilah cerpennya bernuansa pesantren. Hampir lupa kalo pernah buat ini cerpen, filenya kakak yang dapat lalu dia edit-edit trus katanya ceritanya bagus. Jadi dipostinglah di blog. Happy reading ya :)

5 komentar untuk "Kado Cinta Dalam Doa "

  1. kelas 3 SMA udah buat cerpen bagus begini, kalosaya kayaknya masih doyan cabut sekolah T.T

    salam kenal mbak Anna!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal balik.

      Itu paling karena kakak saya yang edit, kalo nggak, sumpah gak layak baca. Banyak kata-katanya yang alay. wkwkwk

      Hapus
  2. sungguh sebuah bakat yang patut dijadiin inspirasi, terus dan lanjutkan bikin karya-karya yang membumi...mamang cuman bisa ng Tut Wuri Handayani in aja nih

    BalasHapus
  3. lanjutkan berkarya mbak, hehehe..

    BalasHapus
  4. Kisah yg biasa terjadi di dunia santri namun diracik cukup renyah oleh mbak Shafiyah, hhhmmmm kayak punya pengalaman di ponpes ya ???

    BalasHapus