Burung-Burung Cakrawala: Memoar Seorang Intelektual

Meski nama penulisnya benar-benar asing, aku menarik sebuah novel berjudul Burung-Burung Cakrawala dari rak buku temanku karena sampulnya yang begitu menarik. Setelah mendapat izin, akupun membawanya pulang ke rumah.

Bagiku membaca buku ini ibarat belajar naik sepeda; asyik tapi susah. Mungkin karena ditulis oleh seorang intelektual generasi 70-an yang menyelesaikan sarjana sastranya di UGM, magister sosialnya di Universitas Massachusetts dan  pendidikan doktor jurusan politik di Universitas Honolulu, Hawaii. Jadi bayangkan, bayangkan kawan, bagaimana beliau bercerita dengan irama yang indah mengenai kisah hidupnya juga mengenai pendapat-pendapat beliau atas teori para ilmuwan dan fenomena politik masa orde baru. Sungguh membuatku bolak-balik harus membuka KBBI atas beberapa kata yang tak kupahami. Mungkin inilah penyebab buku dengan ketebalan 371 halaman ini baru bisa kuselesaikan dalam waktu 2 minggu.😂

Namun meski tertatih, aku tetap menikmati.😅
Baru di halaman pertama aku sudah jatuh cinta dengan gaya bercerita seorang Mochtar Pabottingi ini yang membuatku ingin terus membaca halaman demi halaman didalamnya.

Read Also: Ayah, Buya Hamka :)
***


Di bab awal novel ini Mochtar bercerita tentang kesederhanaan keluarganya yang meninggalkan patokan-patokan moral melalui petuah-petuah sang Ayah dan keindahan Desa Barebba, tanah kelahirannya.

"Di sepanjang usiaku tujuh tahun pertama tumbuhlah percintaanku dengan bianglala, dengan deru kristal sungai, dengan bening bunyi tekukur, dengan bisik desau bambu, dan dengan riuh angin barat." 
-hal. 2-

Dan bab selanjutnya, pada tahun 1953 saat Mochtar berusia 9 tahun, mereka sekeluarga hijrah ke kota Makassar. Di kota inilah pertama kali kembang api cakrawala sang Mochtar meledak, bertolak dari banyaknya buku bacaan yang ia lahap, membuatnya bermimpi untuk terbang bagai burung melintasi batas-batas desa hingga benua.

Darinya aku jadi penasaran membaca buku Hikayat Hang Tuah, Ramayana dan Mahabharata, juga Sam Kok.


Read Also: Nibiru dan Kesatria Atlantis, Tasaro GK

Lalu ditahun 1968 Mochtar berpindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di UGM berkat beasiswa PT. Caltex. Disinilah awal dari impian Mochtar remaja tiap kali dia tercenung dalam kesendiriannya di tubir Pantai Losari di depan Stella Maris, mengimpikan tanah-tanah dan negeri-negeri yang jauh.

Yogya yang terkenal sebagai gudang ilmuwan, seniman, budayawan dan agamawan, membuat cakrawala seorang Mochtar mengalami peningkatan jelajah, keterarahan dan kualitas secara sangat berarti.

Kemudian diawal September 1974, Mochtar berpindah ke Jakarta. Disinilah ia bertemu Nahdia, pujaan hatinya yang kemudian pada tanggal 19 Agustus 1975 menjadi istrinya.

Menurutku beliau benar-benar hebat karena setiba di Jakarta tidak merasakan pengangguran. Beliau langsung mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa inggris di Intensive English Course (IEC). Bulan depannya ia diterima kerja di Kedutaan Inggris sebagai press assistant. Dan 7 bulan kemudian beliau pindah kerja di Titian, majalah ilmiah tersier dalam sajian luks-populer yang diterbitkan USIS, Dinas Penerangan Amerika. Terakhir, beliau kerja di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LEKNAS-LIPI).

Hingga akhirnya di Agustus 1980, Mochtar mendapatkan beasiswa studi ke Amerika.

Banyak hal menarik yang membuat saya tertawa sendiri, lalu bersedih kemudian berkontemplasi dari penuturan kisah beliau yang begitu jujur selama di Amerika.

Salah satunya di halaman 277, bagian guncangnya hubungan rumah tangga beliau akibat kekhilafan yang dilakukannya, yang menorehkan luka mendalam bagi sang istri meski tak berlangsung lama. Kebahagiaan mereka kembaliterjalin karena adanya kasih sayang yang tulus.

Namun yang mengganjal dipikiranku adalah pernyataan beliau tentang pentingnya pengakuan dosa. Tepatnya dibagian ini:

"...tanpa keberanian untuk mengakui dosa itu secara terbuka, elevasi jiwa takkan terjadi. Menurutku penyembunyian dosa dengan satu atau lain cara sebenarnya merupakan ekspresi dari ketaksediaan mengakui dosa sebagai dosa. Itu menipu diri sendiri, membuat jiwa kita tetap terombang-ambing dalam mainan iblis. Dan, laku dosa atau laku lepas akan tetap kita kerjakan tiap kali kesempatan untuk itu kembali terbuka." 
-Hal.280-

Menurutku, masalah pengakuan dosa, biarlah menjadi urusan kita dengan Tuhan. Tanpa diakui juga Tuhan tahu.
Intinya harus taubat nasuha; bersungguh-sungguh memohon ampun dan bertekad untuk tidak mengulanginya.
Karena itulah aku menganggap cukup hanya Tuhan yang tahu mengenai segala dosa yang kulakukan.
Namun untuk mengakuinya kepada orang lain, apa harus? Aku tidak setuju.
Khususnya dosa atau kesalahan kita kepada orang yang dicintai, tak perlu dikatakan kalau memang dia belum mengetahui.Bukan maksud apa-apa, ini tentang menjaga hati.
Sambil intropeksi diri, kita harus berusaha agar dia tidak mengetahui apalagi yang jelas-jelas kita tahu kalau pengakuan itu akan membuatnya sakit hati.
Karena tidak semua luka bisa disembuhkan sehingga tidak semua rasa sakit bisa berlalu pergi.
Bukan karena hatinya kurang lapang untuk memaafkan, tapi memang ada luka yang penyebabnya walau sudah kita ikhlaskan namun luka itu tetap bersembunyi di salah satu bilik hati. *apasih*

Read Also: Sirkus Pohon: Tentang Cinta, Cita-Cita, Politik dan Hikayat Pohon Delima

Bagian menarik lainnya adalah tentang pergolakan batin beliau pasca kelulusan pendidikan doktor. Mengenai haruskah pulang ke Indonesia atau tetap menetap di Amerika.

Beliau akhirnya memilih pulang dengan satu keyakinan:

"Hidup pada akhirnya adalah panggilan cinta dan perjuangan. Dan jika kita percaya, dimana-mana rahmat Allah senantiasa melimpah!"
***

Seperti perasaan Mochtar setelah membaca buku Bahasaku, begitupun aku setelah membaca novel ini, cakrawala atau imajinasiku menggapai lepas dan jauh hingga ke ujung dunia.

Aku juga dibuat terkagum-kagum atas kecerdasan buah-buah pikiran beliau.

Sungguh, Aku merekomendasikanmu novel ini kawan. Khususnya untukmu yang menyukai dunia sastra atau yang ingin dan yang sedang belajar diluar negeri.
Selain banyak membahas karya sastra yang terkenal, pengalaman beliau tentang bagaimana menyiasati hidup di negeri paman sam bisa dijadikan acuan.

Akhir kata, terima kasih pak Mochtar atas kisah sejati ini yang benar-benar menginspirasi. Darimu aku belajar untuk terus gigih melanglang cakrawala dan tetap rajin pulang ke sarang demi menjaga, mengisi dan membangun Indonesia tercinta.




Posting Komentar untuk "Burung-Burung Cakrawala: Memoar Seorang Intelektual"